Apa Itu Peresean? Tradisi Adu Kejantanan Unik di Lombok

Saya masih ingat pertama kali menyaksikan Peresean. Sore itu, di sebuah lapangan tanah di desa kecil di Lombok Tengah, suara tabuhan gendang mengiringi langkah dua pria berpakaian adat yang saling berhadapan, memegang rotan dan perisai dari kulit sapi. Mata mereka tajam. Sorak sorai penonton makin kencang ketika wasit tradisional, yang disebut “pekembar,” meniup peluit. Dan seketika, rotan pun menghujam.

Bukan sekadar atraksi wisata, Peresean adalah napas kebanggaan suku Sasak. Tradisi yang tak hanya mempertontonkan kekuatan fisik, tapi juga keteguhan mental dan kehormatan laki-laki. Sebuah bentuk seni bertarung yang penuh makna budaya.

Asal-Usul dan Filosofi Peresean

Peresean berasal dari kata “peres” yang berarti rotan. Tradisi ini telah berlangsung ratusan tahun, jauh sebelum Lombok menjadi destinasi wisata populer seperti sekarang. Awalnya, Peresean digelar sebagai ritual untuk memanggil hujan saat kemarau panjang. Tapi seiring waktu, maknanya berkembang menjadi simbol kedewasaan, pembuktian diri, dan ajang pelatihan ksatria Sasak.

Tak seperti duel biasa, Peresean tak pernah berakhir dengan dendam. Justru setelah pertarungan, kedua petarung saling merangkul. Luka bukan aib, melainkan bukti keberanian.

Senjata, Seragam, dan Suasana

Setiap peserta membawa dua perlengkapan utama: sebilah rotan lentur sepanjang satu meter dan perisai bundar bernama “ende” yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi, dihiasi motif etnik khas Sasak.

Mereka mengenakan ikat kepala “sapuq” dan kain tenun khas Lombok. Penonton biasanya duduk membentuk lingkaran, memberi ruang bagi petarung untuk bergerak bebas. Tabuhan musik tradisional seperti gendang beleq dan gong mengiringi setiap gerakan, menambah aura magis pertarungan.

Kadang, gerimis pun turun saat Peresean berlangsung. Seolah langit ikut menyaksikan dan memberkahi tradisi ini.

Siapa yang Boleh Bertarung?

Dulu, hanya pemuda desa yang dianggap cukup dewasa dan berani yang boleh bertarung. Namun kini, Peresean terbuka untuk siapa saja yang ingin melestarikan tradisi—termasuk generasi muda yang terus belajar teknik dan filosofi dari para sesepuh.

Yang menarik, wasit dalam Peresean bukan orang sembarangan. Pekembar adalah tokoh yang dihormati, bertugas menjaga aturan dan menengahi bila emosi peserta memuncak. Karena meski terlihat keras, Peresean harus dijalankan dengan penuh etika dan penghormatan.

Makna di Balik Luka

Saya pernah bertanya pada seorang petarung yang wajahnya berdarah usai pertarungan, “Apakah tidak sakit?”
Dia tertawa, lalu menjawab, “Sakit itu biasa. Tapi malu karena lari dari tantangan, itu yang sesungguhnya menyakitkan.”

Dari situ saya paham: Peresean bukan soal menang atau kalah. Ini adalah tentang membentuk karakter. Tentang harga diri. Tentang keberanian berdiri, walau tahu akan jatuh. Dan tentang bangkit, setiap kali jatuh.

Peresean di Tengah Pariwisata Lombok

Dalam beberapa tahun terakhir, Peresean mulai sering ditampilkan dalam berbagai event budaya di destinasi wisata seperti Desa Sade, Taman Narmada, hingga Gili Trawangan. Tapi yang paling otentik tetap di desa-desa pelosok, saat warga menggelar pertunjukan sebagai bagian dari ritual desa atau perayaan panen.

Banyak wisatawan domestik dan mancanegara yang terpesona melihat pertunjukan ini. Beberapa bahkan ikut berinteraksi, mencoba memegang rotan dan belajar sejarahnya dari warga lokal.

Kalau kamu sedang merencanakan liburan ke Lombok dan ingin merasakan sisi lokal yang otentik, pertunjukan Peresean adalah momen yang wajib masuk dalam daftar perjalananmu. Apalagi jika kamu menggunakan paket Lombok tour yang memang fokus pada pengalaman budaya, bukan sekadar jalan-jalan biasa.

Tradisi yang Terus Dijaga

Ada kekhawatiran bahwa Peresean bisa kehilangan maknanya jika hanya dijadikan hiburan untuk turis. Tapi saya menyaksikan sendiri bagaimana para tetua adat dan pemuda Lombok menjaga esensinya. Mereka rutin mengadakan latihan, mentransfer nilai-nilai filosofis dari generasi ke generasi.

Bahkan beberapa sekolah adat telah memasukkan Peresean dalam kurikulum seni dan budaya lokal. Tidak hanya melatih fisik, tapi juga mental dan tanggung jawab sosial.

Saat Tradisi Bertemu Perjalanan

Saya tidak menyangka, perjalanan saya ke Lombok akan membawa saya masuk begitu dalam ke kehidupan masyarakat lokal. Dari sekadar ingin lihat pantai dan gunung, saya justru jatuh cinta pada sebuah tradisi yang begitu maskulin namun penuh kelembutan.

Menonton Peresean bukan hanya tentang menyaksikan dua orang saling pukul dengan rotan. Ini adalah pengalaman spiritual. Tentang bagaimana manusia bisa tetap saling menghargai meski dalam duel. Tentang bagaimana luka bisa jadi simbol persahabatan, bukan permusuhan.